Pendatang Baru di DKI Pasca Lebaran Diperkirakan Lebih Rendah

12:46
Operasi Yustisi

Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo optimistis urbanisasi pasca-Lebaran tahun ini lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu. Beberapa ahli menilai, pengendalian urbanisasi juga perlu dilakukan dengan tidak diskriminatif dan diimbangi pengendalian dari daerah penyumbang.

Berdasarkan proyeksi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta, jumlah pendatang baru selama musim mudik Lebaran tahun 2012 ini, terhitung selama H-7 hingga H+7 Lebaran, diperkirakan turun sampai 6.000 jiwa.

Tahun 2011, jumlah pendatang baru selama mudik Lebaran mencapai sekitar 51.875 jiwa dan pada tahun 2012 ini diproyeksi akan turun menjadi sekitar 45.000 jiwa.

”Saya melihat pemahaman warga soal kependudukan dan catatan sipil mulai merata. Sebab dari beberapa pemudik yang saya temui tahun lalu, mereka sudah paham soal aturan kependudukan dan catatan sipil di Jakarta. Ini berarti sosialisasi kependudukan di Jakarta berjalan efektif,” tutur Fauzi.

Pihaknya juga optimistis bahwa pembangunan di daerah asal sudah mulai dirasakan.

”Kalau di daerah asalnya bisa mendapatkan lapangan pekerjaan dan juga bisa mendapatkan share dari progres pembangunan di daerahnya, mereka tentu akan memilih tinggal di daerahnya,” ujarnya.

Pengendalian urbanisasi penduduk di Jakarta agar berjalan efektif, menurut sosiolog Imam Prasodjo dan pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Edy Halomoan Gurning, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta perlu bekerja sama dengan daerah penyumbang urbanisasi terbesar.

Baik Imam dan Edy sepakat bahwa Pemprov DKI Jakarta, khususnya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI, wajib memiliki data komposisi daerah asal warganya, baik yang resmi maupun tidak. Dari data itu terlihat daerah-daerah mana yang sebenarnya bisa diajak kerja sama guna mengurangi arus urbanisasi ke Ibu Kota.

”Jika datanya menunjukkan kawasan Slawi, Tegal, Brebes, misalnya, Pemprov DKI Jakarta bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat memajukan potensi daerahnya. Tentu saja DKI tidak bisa sendiri, tetapi harus dibantu pemerintah pusat,” kata Edy.

Sementara itu Imam menambahkan, kawasan Jabodetabek yang kini telah berkembang menjadi satu kesatuan tetap membutuhkan kawasan penyangga. Jika dibiarkan tak terkendali, kawasan seperti Cianjur hanya sekadar menjadi lokasi hunian selain tempat wisata yang kurang berpotensi sebagai kawasan tujuan urbanisasi baru.

”Padahal, seperti Purwakarta di Jawa Barat itu kurang apa, ada daerah industri, penghasil listrik, dua waduk, potensi wisata besar, tetapi perkembangannya tidak pesat. Coba saja ada kerja sama dengan DKI, mungkin bakal tumbuh pusat ekonomi baru,” ucapnya.

Edy pun menilai, operasi yustisi kependudukan (OYK) yang digelar Pemprov DKI setiap pasca-Lebaran, alih-alih mengendalikan urbanisasi, malah menimbulkan diskriminasi penduduk.

”Penegakan hukum agar aturan kependudukan bisa diterapkan memang perlu dilakukan, tetapi harus dilakukan secara total, tidak hanya pasca-Lebaran. Sasarannya pun harus seluruh kelas ekonomi masyarakat, baik yang kaya berpendidikan maupun yang ekonomi lemah,” kata Edy.

Untuk itu, OYK juga perlu dilakukan dengan persiapan matang. Dengan wilayah seluas Jakarta, OYK tidak akan bisa merata menyeluruh dalam waktu singkat, seperti hanya dalam beberapa pekan pasca-Lebaran.

Pemerintah bisa memetakan wilayah dan melakukan penyisiran warga yang tidak tertib aturan kependudukan secara bergantian. Waktu yang dibutuhkan dapat satu tahun atau bahkan lebih.

Edy juga menegaskan, merujuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, warga negara Indonesia berhak berpindah tempat dan tidak boleh dilarang atau diusir di tempat baru. Namun, aturan dasar kependudukan, seperti membawa surat pindah, identitas lengkap, dan mengurus surat tinggal di tempat baru, wajib dilakukan.

Sumber: Kompas

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »