Jakarta: Pembangunan jalan tol dianggap tidak akan menuntaskan kemacetan di kota karena kemacetan terus meluas hingga ke jalan tol.
Tanpa pembatasan kendaraan pribadi dan pembangunan transportasi umum secara masif, pembangunan jalan tol yang memakan triliunan rupiah tidak efektif untuk mobilitas barang dan orang.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Organisasi Angkutan Darat (Organda) Eka Sari Lorena mencontohkan jalan layang nontol Antasari-Blok M saja ternyata tidak mampu mengatasi kemacetan.
"Dua hari pertama uji coba, terjadi kemacetan total di jalan layang baru tersebut," ujarnya di Jakarta.
Eka juga mengkhawatirkan pembangunan jalan tol Benoa-Nusa Dua juga tidak akan memecahkan masalah kemacetan di Bali. Apalagi di Bali, tidak ada pakar transportasi yang menuntut pembangunan transportasi umum secara masif.
"Ketika peak seasons, sering terjadi perjalanan Sanur sampai Ngurah Rai harus ditempuh satu jam. Makin sering supir taksi menolak untuk mengantar ke tujuan tertentu, seperti Kuta dan Legian dengan alasan macet total," tuturnya.
Pembangunan jalan di Bali nyaris stagnan karena dalam lima tahun terakhir tidak ada pertambahan panjang jalan provinsi dan jalan nasional hanya bertambah 26 km. Padahal, jumlah kendaraan di Bali melebihi jumlah penduduk resmi di Bali.
"Ini dulu dan sekarang, entah esok bila mobil murah telah menyesaki jalan akan terjadi gridlock," ujar Eka.
Pembangunan jalan tol tanpa disertai pembangunan transportasi umum yang masif dinilai akan menjadi model bagi kota besar lainnya di Indonesia. Padahal, model tersebut tidak patut ditiru karena memindahkan orang harus memindahkan kendaraannya juga.
Terkait dengan mobilitas barang dan orang, Indonesia harus bercermin dari Singapura. Dengan luas 710 km2, Singapura terlihat lebih lapang dari Bali yang luasnya mencapai 5.632 km2 atau delapan kali lebih besar.
Di sisi lain Eka menyebutkan penduduk Bali hanya 4 juta orang, masih lebih sedikit dari penduduk Singapura yang mencapai 4,5 juta orang. "Belum lagi turis ke Bali hanya 2 juta orang per tahun, jauh lebih sedikit dari Singapura 14 juta orang per tahun," sebutnya.
Dengan transportasi umum yang luar biasa, setiap sudut Singapura bisa dijangkau dalam belasan atau puluhan menit. Jika Bali dan kota besar Indonesia lainnya bisa membangun transportasi umum yang handal, penduduk dan wisman akan mudah ke tiap sudut kota dan perekonomian pun tumbuh.
Menurut Eka, pembangunan jalan tol sebaiknya ditangguhkan dulu sebelum pembangunan jalan umum yang bisa dilewati angkutan umum mencukupi. Pembangunan jalan tol dianggap hanya mengakomodir pemilik uang dan kendaraan pribadi.
"Dalam undang-undang (UU) ada kewajiban pemerintah menyediakan jalan umum untuk seluruh rakyat dulu. Apabila sudah dibangun, baru boleh membangun jalan tol yang perlu ditarik biaya," katanya.
Selain itu desainer transportasi dan perkotaan ternyata tidak pernah duduk bareng sehingga kemacetan terjadi secara merata. Eka menjelaskan desainer transportasi dan perkotaan harus bisa menghitung jumlah penduduk, perilaku kerja, pendapatan per orang, dan pertumbuhan penduduk dalam suatu wilayah untuk menentukan jenis transportasi dan pembangunan yang akan disiapkan.
"Sekarang enggak dihitung mobilitasnya, asal bangun. Padahal kan bisa dihitung berapa orang tinggal di situ, berapa rata-rata satu keluarga, mau ke mana kerjanya, income-nya, karakternya, pertumbuhan penduduk kayak bagaimana, dan dari situ kelihatan desain dan apa yang harus disediakan," tuturnya.
Tanpa pembatasan kendaraan pribadi dan pembangunan transportasi umum secara masif, pembangunan jalan tol yang memakan triliunan rupiah tidak efektif untuk mobilitas barang dan orang.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Organisasi Angkutan Darat (Organda) Eka Sari Lorena mencontohkan jalan layang nontol Antasari-Blok M saja ternyata tidak mampu mengatasi kemacetan.
"Dua hari pertama uji coba, terjadi kemacetan total di jalan layang baru tersebut," ujarnya di Jakarta.
Eka juga mengkhawatirkan pembangunan jalan tol Benoa-Nusa Dua juga tidak akan memecahkan masalah kemacetan di Bali. Apalagi di Bali, tidak ada pakar transportasi yang menuntut pembangunan transportasi umum secara masif.
"Ketika peak seasons, sering terjadi perjalanan Sanur sampai Ngurah Rai harus ditempuh satu jam. Makin sering supir taksi menolak untuk mengantar ke tujuan tertentu, seperti Kuta dan Legian dengan alasan macet total," tuturnya.
Pembangunan jalan di Bali nyaris stagnan karena dalam lima tahun terakhir tidak ada pertambahan panjang jalan provinsi dan jalan nasional hanya bertambah 26 km. Padahal, jumlah kendaraan di Bali melebihi jumlah penduduk resmi di Bali.
"Ini dulu dan sekarang, entah esok bila mobil murah telah menyesaki jalan akan terjadi gridlock," ujar Eka.
Pembangunan jalan tol tanpa disertai pembangunan transportasi umum yang masif dinilai akan menjadi model bagi kota besar lainnya di Indonesia. Padahal, model tersebut tidak patut ditiru karena memindahkan orang harus memindahkan kendaraannya juga.
Terkait dengan mobilitas barang dan orang, Indonesia harus bercermin dari Singapura. Dengan luas 710 km2, Singapura terlihat lebih lapang dari Bali yang luasnya mencapai 5.632 km2 atau delapan kali lebih besar.
Di sisi lain Eka menyebutkan penduduk Bali hanya 4 juta orang, masih lebih sedikit dari penduduk Singapura yang mencapai 4,5 juta orang. "Belum lagi turis ke Bali hanya 2 juta orang per tahun, jauh lebih sedikit dari Singapura 14 juta orang per tahun," sebutnya.
Dengan transportasi umum yang luar biasa, setiap sudut Singapura bisa dijangkau dalam belasan atau puluhan menit. Jika Bali dan kota besar Indonesia lainnya bisa membangun transportasi umum yang handal, penduduk dan wisman akan mudah ke tiap sudut kota dan perekonomian pun tumbuh.
Menurut Eka, pembangunan jalan tol sebaiknya ditangguhkan dulu sebelum pembangunan jalan umum yang bisa dilewati angkutan umum mencukupi. Pembangunan jalan tol dianggap hanya mengakomodir pemilik uang dan kendaraan pribadi.
"Dalam undang-undang (UU) ada kewajiban pemerintah menyediakan jalan umum untuk seluruh rakyat dulu. Apabila sudah dibangun, baru boleh membangun jalan tol yang perlu ditarik biaya," katanya.
Selain itu desainer transportasi dan perkotaan ternyata tidak pernah duduk bareng sehingga kemacetan terjadi secara merata. Eka menjelaskan desainer transportasi dan perkotaan harus bisa menghitung jumlah penduduk, perilaku kerja, pendapatan per orang, dan pertumbuhan penduduk dalam suatu wilayah untuk menentukan jenis transportasi dan pembangunan yang akan disiapkan.
"Sekarang enggak dihitung mobilitasnya, asal bangun. Padahal kan bisa dihitung berapa orang tinggal di situ, berapa rata-rata satu keluarga, mau ke mana kerjanya, income-nya, karakternya, pertumbuhan penduduk kayak bagaimana, dan dari situ kelihatan desain dan apa yang harus disediakan," tuturnya.