Ironisnya, kerusakan jalan nampaknya hanya berujung pada keluhan dan kekecewaan para pihak pengguna jalan. Sedangkan langkah perbaikan nyata masih belum terealisir maksimal. Berbagai alasan pun hadir, mulai dari mencegah timbulnya ego sektoral di daerah, perlunya koordinasi matang, prosedur penganggaran yang rumit dan ketat, serta alasan lainnya.
Terkait kondisi ini, Tribun meminta penilaian dari pakar keuangan Negara, Drs Siswo Sujanto, DEA, melalui kontak telepon. Siswo merupakan Direktur Pusat Kajian Keuangan Negara dan Daerah Universitas Satria Artha Makassar.
Siswo telah terlibat aktif sebagai anggota tim penyusunan beberapa paket UU keuangan Negara dan perbendaharaan Negara. Ia juga menjadi ahli dalam beberapa kasus peradilan penting di level nasional, seperti kasus Bank Indonesia, Depsos RI, juga Sisminbakum.
“Pada prinsipnya negara harus menjamin kesejahteraan masyarakat. Caranya dengan memenuhi lima kebutuhan dasar. Yaitu keamanan dan ketertiban, peradilan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan umum. Termasuk dalam hal ini sarana prasarana jalan, jembatan, pencegah banjir, dan transportasi,” kata Siswo.
Kemudian agar tidak rancu, dibuatlah klasifikasi kewajiban berjenjang. “Kewajiban itu merupakan kewajiban negara kepada masyarakat. Karena kemampuan keuangan terbatas, maka dibebankan pada masing-masing pihak sesuai level pemerintahan. Karena dalam provinsi ada jalan penghubung antar kabupaten, maka dibiayai provinsi. Sedangkan jalan antar provinsi, dibiayai Negara melalui APBN,” katanya.
Namun menurut Siswo, pola ini tidaklah kaku. “Ada yang mengatakan, ada (klasifikasi, red) jalan negara, jalan provinsi, dan jalan kabupaten. Kalau ada kemampuan dan kelebihan anggaran, kabupaten juga bisa “ngomong”,” katanya. Sedangkan bilamana dibuat garis batas yang tegas dan kaku, maka masyarakat yang akan sengsara.
Ia menilai, pembangunan dan pemeliharaan jalan negara atau provinsi oleh kabupaten/kota boleh dilaksanakan sebagai bentuk tanggungjawab untuk mensejahterakan rakyat. Untuk kasus di wilayah Kutim, keluhan tentang kondisi jalan muncul dari pengguna jalan negara, jalan provinsi, maupun jalan kabupaten di pedalaman.
“Pola itu boleh dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab untuk mensejahterakan rakyat. Semua kembali pada nawaitu-nya (niatnya, red),” katanya. Dengan adanya garis batas, yang banyak terjadi adalah saling menunggu dalam perbaikan jalan.
“Bagaimanapun rakyat harus kita sejahterakan. Jalan negara yang berada di wilayah kita bisa kita perbaiki sendiri. Nantinya saat pemeriksaan keuangan, akan dijelaskan bahwa biaya provinsi belum turun,” katanya. Namun ia menekankan, pembiayaan haruslah dilakukan di wilayah adminisitratif daerah yang bersangkutan, dan bukan di wilayah administratif kabupaten lain.
Meskipun demikian, pada kasus khusus dan darurat, APBD Kabupaten bisa dilakukan untuk membantu pembiayaan pembangunan di luar daerah administratif dalam kondisi yang benar-benar genting.
“APBD memang hanya digunakan untuk kabupaten yang bersangkutan. Namun pada kasus khusus, misalnya ada bendungan di daerah lain yang hampir hancur yang letaknya berdekatan dengan daerah yang bersangkutan. Namun daerah pemilik bendungan tidak punya dana memperbaiki. Kalau bendungan dibiarkan, maka kedua wilayah akan hancur. Kita harus melihatnya pada konteks kewajiban negara mensejahterakan rakyat,” katanya.