Ratusan orang dari 20 komunitas Paguyuban Songsong Buwono menggelar
peringatan malam 1 Suro atau 1 Muhamaram 1435 Hijriah dengan lampah bisu mubeng beteng atau berjalan hening mengelilingi beteng Keraton Yogyakarta, Senin 5 November 2013 malam.
Rombongan yang memakai pakaian adat Jawa itu mulai menggelar prosesi sekitar pukul 20.00 WIB di monumen Tugu Yogyakarta yang dilanjutkan berjalan dalam diam menuju depan Keraton Yogyakarta.
Setelah menggelar berbagai doa dan menyanyikan berbagai tembang Jawa serat Macapat seperti Pangkur dan Dandang Gula, menjelang tengah malam ratusan warga itu pun melanjutkan berjalan kaki mengitari kompleks keraton sambil menyalakan obor dan membawa dua gunungan hasil bumi.
Kanjeng Gusti Pangeran Hario Pujodiningrat, 67 tahun, Ketua Paguyuban Sonsong Buwono menuturkan lampah bisu mubeng beteng Suro kali ini menjadi ruang merefleksikan kembali nilai nilai kebijaksanaan tradisi yang makin banyak dilanggar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
"Jalan membisu ini agar apa yang tidak lurus kembali diluruskan, dan yang lurus tetaplah lurus," kata anak tertua Sri Sultan Hamengku Buwono VIII kepada Tempo.
Pujodiningrat menuturkan setidaknya ada tiga kebijaksanaan dari petuah Jawa yang kini ditinggalkan dan kian membuat kondisi carut marut.
Pertama, pepatah "Milik darbeking liyan" atau ambisi menginginkan harta milik orang lain. Semangat ini, kata Pujo, justru makin menghiasi watak dan perilaku para pejabat negara dan pemangku kepentingan negeri. Mulai jajaran paling atas hingga bawah. Sehingga kian banyak kasus korupsi yang menyengsarakan rakyat.
Kedua, pepatah "Sepi ing pamrih rame ing gawe" atau tak imbalan namun tetap giat bekerja. "Perilaku yang menonjol sekarang sebaliknya, ada proyek dan duit dulu yang diterima, baru tugas dilaksanakan," kata Pujo.
Ketiga, pepatah "Ngono yo ngono neng ojo ngono" yang menggambarkan semacam sikap yang sudah tidak melihat sekitarnya lagi, melampaui etika, tak punya malu dan serakah karena seolah dibiarkan.
"Kita masih ingat berapa banyak harta (Inspektur Jenderal) Djoko Soesilo (mantan Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri yang terlibat korupsi simulator SIM) ? Hampir di mana mana ada," kata dia.
Dalam doa bersama malam 1 Suro itu pun, para pemimpin paguyuban juga menyinggung soal kondisi sosial menjelang perhelatan politik lima tahunan yakni Pemilihan Umum presiden tahun 2014 mendatang.
Para tetua paguyuban tradisi itu meminta warga Yogyakarta tidak terpecah dengan banyaknya calon yang diusung berbagai partai politik dan dibodohi untuk diadu domba.
"Semoga dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun depan, kebersamaan dan kepedulian kita selalu terjaga, bukan menjadi ajang saling menghancurkan satu dengan lainnya," kata seseorang tokoh tradisi paguyuban Songsong Buwono,Triatmodjo Darmasastri.
Rombongan yang memakai pakaian adat Jawa itu mulai menggelar prosesi sekitar pukul 20.00 WIB di monumen Tugu Yogyakarta yang dilanjutkan berjalan dalam diam menuju depan Keraton Yogyakarta.
Setelah menggelar berbagai doa dan menyanyikan berbagai tembang Jawa serat Macapat seperti Pangkur dan Dandang Gula, menjelang tengah malam ratusan warga itu pun melanjutkan berjalan kaki mengitari kompleks keraton sambil menyalakan obor dan membawa dua gunungan hasil bumi.
Kanjeng Gusti Pangeran Hario Pujodiningrat, 67 tahun, Ketua Paguyuban Sonsong Buwono menuturkan lampah bisu mubeng beteng Suro kali ini menjadi ruang merefleksikan kembali nilai nilai kebijaksanaan tradisi yang makin banyak dilanggar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
"Jalan membisu ini agar apa yang tidak lurus kembali diluruskan, dan yang lurus tetaplah lurus," kata anak tertua Sri Sultan Hamengku Buwono VIII kepada Tempo.
Pujodiningrat menuturkan setidaknya ada tiga kebijaksanaan dari petuah Jawa yang kini ditinggalkan dan kian membuat kondisi carut marut.
Pertama, pepatah "Milik darbeking liyan" atau ambisi menginginkan harta milik orang lain. Semangat ini, kata Pujo, justru makin menghiasi watak dan perilaku para pejabat negara dan pemangku kepentingan negeri. Mulai jajaran paling atas hingga bawah. Sehingga kian banyak kasus korupsi yang menyengsarakan rakyat.
Kedua, pepatah "Sepi ing pamrih rame ing gawe" atau tak imbalan namun tetap giat bekerja. "Perilaku yang menonjol sekarang sebaliknya, ada proyek dan duit dulu yang diterima, baru tugas dilaksanakan," kata Pujo.
Ketiga, pepatah "Ngono yo ngono neng ojo ngono" yang menggambarkan semacam sikap yang sudah tidak melihat sekitarnya lagi, melampaui etika, tak punya malu dan serakah karena seolah dibiarkan.
"Kita masih ingat berapa banyak harta (Inspektur Jenderal) Djoko Soesilo (mantan Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri yang terlibat korupsi simulator SIM) ? Hampir di mana mana ada," kata dia.
Dalam doa bersama malam 1 Suro itu pun, para pemimpin paguyuban juga menyinggung soal kondisi sosial menjelang perhelatan politik lima tahunan yakni Pemilihan Umum presiden tahun 2014 mendatang.
Para tetua paguyuban tradisi itu meminta warga Yogyakarta tidak terpecah dengan banyaknya calon yang diusung berbagai partai politik dan dibodohi untuk diadu domba.
"Semoga dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun depan, kebersamaan dan kepedulian kita selalu terjaga, bukan menjadi ajang saling menghancurkan satu dengan lainnya," kata seseorang tokoh tradisi paguyuban Songsong Buwono,Triatmodjo Darmasastri.