Suyana selaku Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Yogyakarta mengatakan sejak pukul 05.00 WIB hingga 09.00 WIB kawasan tersebut ditutup untuk kendaraan bermotor. Selama empat tahun kemarin, katanya, CFD sudah diberlakukan dengan menutup kawasan Malioboro mulai pukul 05.00 WIB hingga 07.00 WIB.
Kebijakan untuk mensosialisasikan kepada masyarakat mengurangi ketergantungan terhadap kendaraan bermotor selama ini, menurut Suyana belum sepenuhnya berhasil. Beberapa faktor menjadi penyebab belum suksesnya CFD. Diantaranya, karena kawasan Malioboro sebagai kawasan ekonomi, maka banyak pelaku usaha yang ada di kawasan tersebut justru seringkali menerobos jalan yang sudah ditutup. Faktor lain yakni, kurangnya petugas untuk mengawasi dan mengatur CFD sehingga kendaraan benar-benar tidak bisa lewat.
Selama ini memang CFD hanya dengan penutupan jalan saja. Tapi tidak diterjunkan langsung petugas yang mengatur dan mengawasi pengguna jalan ke wilayah ini. Kalau CFD baru kami sengaja perpanjang sekalian dijaga petugas dari Dinas Perhubungan maupun Satlantas,” jelas Suyana.
Menurutnya, jika tidak dijaga dan diatur oleh petugas, masih banyak warga yang belum memiliki kesadaran untuk menghormati kebijakan CFD. Karena itu, pelaksanaan CFD kemarin selain digunakan tanda larangan kendaraan untuk masuk kawasan Malioboro petugas juga diturunkan.
Ini kami uji cobakan selanjutnya akan dilakukan evaluasi apa yang masih kurang. Kita sangat berharap masyarakat menghormati dan ikut berpartisipasi untuk melaksanakan CFD ini,” tuturnya.
Suyana berujar selain untuk mengurangi polusi udara, adanya CFD di Malioboro juga memberikan kesempatan kepada masyarakat maupun wisatawan untuk bebas menikmati Malioboro tanpa terganggu lalulintas. Selain itu saat Malioboro bebas dari kendaraan, momen ini bisa digunakan komunitas pedagang untuk bersih-bersih kawasan Malioboro. “Kami sudah lakukan komunikasi kami juga undang komunitas sepeda, sepatu roda untuk menikmati Malioboro saat bebas kendaraan,” katanya.
Dikatakannya adanya CFD di satu kawasan saja tidak cukup untuk mengurangi pencemaran secara makro. Namun setidaknya adanya CFD ini mampu menggugah masyarakat untuk tidak selalu tergantung pada kendaraan bermotor terutama menempuh jarak pendek. “Untuk mengurangi polusi secara global yang paling efektif adalah dengan mengurangi energi fosil termasuk penggunaan listrik,” jelasnya.
Ia menyebut delapan tahun terakhir Yogyakarta telah mampu mengurangi energi listrik untuk penerangan jalan menggunakan lampu SL dari sebelumnya menggunakan lampu jenis TL. “Jumlah titik lampu meningkat tiga kali lipat menjadi 18 ribu dari sebelumnya 6 ribu. Namun KWh nya tidak bertambah,” katanya.
Saat pelaksanaan CFD BLH Yogyakarta juga melakukan pengukuran kualitas udara. Menurut Kepala Bidang Pengawasan dan pemeliharaan Lingkungan BLH Yogyakarta, Ika Rostika adanya CFD paling tidak berpengaruh pada iklim mikro di lokasi tersebut. Menurutnya secara umum, kondisi pencemaran udara di Yogyakarta masih di bawah ambang batas. Namun untuk lokasi tertentu seperti simpang empat yang padat kendaraan memiliki tingkat pencemaran yang tinggi dibanding lokasi lain.