Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim menyampaikan hal tersebut dalam diskusi "Mengapa Pesawat Sukhoi Menabrak Gunung Salak" yang diadakan oleh Institut Perubahan di Jakarta, Rabu (27/6/2012).
Chappy mengungkapkan, kecelakaan Sukhoi memang bisa diselidiki sebab musababnya. Tapi yang lebih penting, kecelakaan Sukhoi harus menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperbaiki manajemen dunia penerbangannya.
Salah satu masalah yang disoroti dalam diskusi adalah soal Air Traffic Controller (ATC). Dalam pemberitaan kasus Sukhoi Super Jet 100, dibahas alasan mengapa ATC memberi izin untuk turun ke ketinggian 6.000 kaki sementara ketinggian Gunung Salak 7.200 kaki.
Diskusi mengungkap bahwa ATC pun memiliki banyak permasalahan. Selama ini, layanan Air Traffic tersebar di berbagai institusi, mulai Angkasa Pura I, Angkasa Pura II hingga Kementerian Perhubungan.
Berdasarkan Undang-undang Penerbangan No 1 tahun 2009, memang sudah diatur bahwa lembaga air traffic seharusnya berada dalam wadah yang terintegrasi.
Tapi kenyataannya, sampai sekarang hal tersebut belum terwujud. "ATC harus dikelola dalam wadah yang istilahnya adalah ATC Single Provider. Di seluruh dunia, standar pelayanan ATC memang sudah demikian adanya. Pelayanan ATC serta pelayanan navigasi penerbangan dan pelayanan di terminal dan atau di airport seharusnya dipisahkan," papar Chappy.
"Kiranya kini adalah saat yang tepat untuk segera mengambil tindakan tegas, mendirikan lembaga independen untuk pelayanan Air Traffic yang terpisah dengan pengelolaan airport. Sudah waktunya ATC berdiri sendir sebagai single provider bagi keselamatan kita," tambah Chappy.
Dengan berdiri sendiri, perbaikan pada ATC seperti pembinaan sumber daya manusia, penempatan orang yang tepat sebagai pimpinan, pengadaan hardware dan software serta upaya meningkatkan kualitas bisa lebih mudah dilakukan.
"Bila kita tdak segera dan serius menanganinya, maka kelak pengaturan lalu lintas udara di negeri tercinta ini akan diambil oleh ICAO. Atas nama keamanan terbang, maka kolom udara wilayah kedaulatan ibu pertiwi akan diserahkan pengelolaannya pada negara tetangga," jelas Chappy.
Bila tidak, untuk terbang di negeri sendiri, Indonesia harus minta izin pada asing. Hal tersebut sudah terjadi di skala mikro sebenarnya. Saat ini, untuk penerbangan di Selat Malaka, Indonesia harus meminta izin pada Singapura.
Chappy mengingatkan, sejak tanggal 16 April 2007, dunia penerbangan Indonesia diletakkan pada kategori 2 oleh FAA (Federal Aviation Administration).
Artinya, penerbangan Indonesia sebenarnya dinilai sudah tidak memenuhi standar keselamatan. Indonesia kalah dengan Suriname, Malaysia bahkan negara kecil seperti Fiji.
Lewat perbaikan, penerbangan Indonesia paling tidak bisa kembali ke kategori 1, yang berarti memenuhi standar klayakan terbang.
Sumber: Kompas.com