
Kalimantan - Pembangunan infrastruktur jalan paralel di sepanjang daerah perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Kalimantan masih mengalami kendala. Kendala utama yang dihadapi adalah, adanya protes dari sejumlah kelompok masyarakat yang menentang pembangunan jalan yang melintasi hutan lindung yang masuk dalam kawasan Heart of Borneo. Kelompok masyarakat tersebut khawatir pembangunan infrastruktur jalan tersebut akan merusak hutan lindung.
Direktur Program Organisasi Multi-Pihak Kemitraan, Agung Djojosoekarto mengatakan, terhambatnya rencana pembangunan jalan paralel di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan menyebabkan lambannya pembangunan kawasan di sana. "Pembangunan jalan adalah masalah vital. Karena pasokan logistik dan pengawasan di daerah perbatasan negara harus di dukung infrastruktur jalan," kata Agung kemarin (19/10).
Menurut Agung, protes dari kelompok masyarakat yang tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli lingkungan tidak tepat sasaran. Dia menjelaskan dengan adanya protes seperti itu, artinya mereka melarang upaya pemerintah untuk melakukan pengawasan dan pembangunan di daerah perbatasan.
"Ini sama saja melarang pemerintah untuk mengawasi wilayahnya sendiri. Padahal pemerintah Malaysia sudah memiliki jalan paralel di daerah perbatasannya dengan Indonesia. Jelas kita semakin tertinggal," ujar Agung.
"Ini sama saja melarang pemerintah untuk mengawasi wilayahnya sendiri. Padahal pemerintah Malaysia sudah memiliki jalan paralel di daerah perbatasannya dengan Indonesia. Jelas kita semakin tertinggal," ujar Agung.
Namun di sisi lain, Agung mengatakan pemerintah juga kurang memiliki tekad untuk mengupayakan rencana pembangunan paralel di wilayah perbatasan tersebut. "Pemerintah juga mendiamkan saja. Padahal sudah hampir 70 tahun Indonesia merdeka namun kawasan perbatasan kurang perhatian. Kalau sudah begini pantas saja jika ada yang ingin lepas dari Indonesia," pungkas Agung.
Selain itu, Agung mengaku pihaknya telah mencoba menawarkan solusi sebagai jalan tengah atas persoalan tersebut, seperti membangun jalan terowongan di bawah hutan lindung. Namun solusi tersebut tidak mendapat tanggapan dari pemerintah.
"Karena pemerintah tidak bergerak, saya lebih memilih menggandeng Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk melakukan pembangunan di daerah perbatasan. Dan dia sangat antusias," ungkapnya.
Kepala Pusat Komunikasi (Kapuskom) Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Danis H. Sumadilaga mengatakan, pihaknya belum menerima laporan adanya hambatan pembangunan jalan paralel di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan. "Saya akan cek kasusnya dulu," kata Danis.
Kepala Pusat Komunikasi (Kapuskom) Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Danis H. Sumadilaga mengatakan, pihaknya belum menerima laporan adanya hambatan pembangunan jalan paralel di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan. "Saya akan cek kasusnya dulu," kata Danis.
Danis menerangkan seluruh proyek yang digarap PU terlebih dahulu melewati studi kelayakan, misalnya, terkait medan dan masalah sosial kemasyarakatan di wilayah sekitar proyek tersebut. "Kami tentu saja tidak berniat merusak hutan lindung. Pasti ada alternatif lain seperti mencari rute baru," ujar Danis.
Dia juga menambahkan bahwa pembangunan jalan di daerah perbatasan merupakan prioritas sebelum membangun infastruktur penunjang lainnya. "Akses jalan terlebih dahulu diadakan sebelum mengadakan pasar dan fasilitas air minum," imbuhnya Danis.
Dia juga mengungkapkan bahwa Kementerian PU telah mengalokasikan anggaran lebih dari Rp 1 triliun untuk pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah perbatasan. "Sekitar 70 hingga 80 persen untuk pembanunan jalan," ungkapnya.
Sebelumnya diberitakan bahwa sejumlah LSM pegiat lingkungan di Kalimantan Timur (Kaltim) menolak pembangunan jembatan Trans Kalimantan di kawasan Pulau Balang. Alasannya karena kawasan Pulau Balang merupakan bagian dari hutan lindung Sungai Wain.